'/> Aspek Aksiologi Ilmu Administrasi - Filsafat Ilmu Manajemen

Info Populer 2022

Aspek Aksiologi Ilmu Administrasi - Filsafat Ilmu Manajemen

Aspek Aksiologi Ilmu Administrasi - Filsafat Ilmu Manajemen
Aspek Aksiologi Ilmu Administrasi - Filsafat Ilmu Manajemen
A. PENDAHULUAN
Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami problem – problem yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian filsafat dibutuhkan insan dalam upaya menjawaban pertanyaan yang timbul dalam banyak sekali lapangan kehidupan manusia, termasuk kasus kehidupan dalam bidang ilmu manajemen. Jawaban hasil pemikiran filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat dalam mencari jawabanan dilakukan dengan cara ilmiah, adil, memdiberikan pertanggungjawabanan dengan berdasarkan pada daypikir manusia, demikian halnya untuk menjawaban persoalan-persoalan insan dalam bidang ilmu administrasi (Jalaludin dan Idi, 2007: 125).
Menurut Atmaja, Nengah Bawa dan Atmaja, Anantawikrama (2014: 139), kita sanggup melihat Gambar 1.1 yang akan menjelaskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang melandasi kebenaran ilmu dan pengembangannya secara umum.

Gambar 1.1 Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang Melandasi Kebenaran Ilmu dan Pengembangannya.


Sumber:Diadaptasi dari Mustansyir dan Munir (2006) serta Suriasumatri (2001) dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014)

Pada Gambar 1.1, menjelaskan bahwa eratnya kekerabatan antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam melandasi kebenaran dan pengembangan ilmu, sanggup dicermati dari Suriasumantri dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014: 139), bahwa setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai tiga ciri tersebut dan ketiganya saling berkaitan, sehingga dengan cara ini dimungkinkan untuk mendapat pemahaman yang utuh wacana hakikat ilmu pengetahuan secara, tidak saja filosofis dan aksejukik, tetapi juga praktisnya. Dan konsentrasi pembahasan kita akan masuk pada dimensi Aksiologi dalam Ilmu Manajemen.

B. DEFINISI AKSIOLOGI MANAJEMEN
Menurut Noor (2013:83), secara etimologi aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti skor dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi ialah teori wacana skor. Menurut Jujun, aksiologi diartikan sebagai teori skor yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang dimaksud ialah sesuatu yang dimiliki insan untuk melaksanakan banyak sekali pertidak seimbangan wacana apa yang diskor. Teori wacana skor yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan norma dan sopan santun dan estnorma dan sopan santun.
Menurut Muhammad Noor Syam (1986) dalam Jalaludin (2007: 84) bahwa aksiologi ialah bidang yang memeriksa skor – skor (value). Nilai dan implikasi aksiologi di dalam ilmu administrasi ialah pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan tiruana skor (skor tindakan moral, skor verbal keindahan dan skor kehidupan sosio – politik) di dalam kehidupan manusia. Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi ialah apakah yang baik?
Menurut Kattsoff (1987) dalam Torang (2014:105) bahwa aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat skor. Aksiologi juga sebagai penuntun dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu.
Adapun Bramel dalam Noor (2013:83), membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni norma dan sopan santun. Kedua, esthetic expression, yaitu verbal keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Permasalahan aksiologi dalam ilmu administrasi (Noor , 2013:83), adalah:
1. Sifat skor atau paras skor didukung oleh pengertian wacana pemenuhan hasrat, kesenangan, kepuasan, minat, kemauan rasional yang murni, serta persepsi mental yang erat sebagai pertalian antara sesuatu sebagai sarana untuk menuju ke titik selesai atau menuju kepada tercapainya hasil yang sebenarnya. Di dalam mengkaji administrasi berkecimpung tentunya dilandasi dengan hasrat untuk mendapat kepuasan.
2. Perihal tipe skor didapat informasi bahwa ada skor intrinsik dan ada skor instrumental. Nilai intrinsik ialah skor konsumatoris atau yang menempel pada diri sesuatu sebagai bobot martabat diri (prized for their own sake). Yang tergolong ke dalam skor intrinsik ialah kebaikan dari segi moral, kecantikan, keindahan, dan kemurnian. Sedangkan skor instrumental ialah skor ialah skor penunjang yang mengakibatkan sesuatu mempunyai skor intrinsik.
3. Penerapan tipe skor bagi administrasi diarahkan sebagai profesi. Banyak perjuangan yang telah dilakukan untuk mengklasifikasikan administrasi sebagai profesi. Kriteria untuk memilih sesuatu sebagai profesi ialah sebagai diberikut:
a. Para profesional membuat keputusan atas dasar prinsip-prinsip umum.
b. Para profesional mendapat status mereka lantaran mencapai baku prestasi kerja tertentu, bukan lantaran kesukaanism atau lantaran suku bangsa atau agama.
c. Para profesional harus ditentukan oleh suatu instruksi etik yang kuat, dengan disiplin untuk mereka yang menjadi kliennya.
Dapat disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahaannya mengenai skor. Nilai yang dimaksud ialah sesuatu yang dimiliki insan untuk melaksanakan banyak sekali pertidak seimbangan wacana apa yang diskor. Teori wacana skor dalam filsafat mengacu kepada permasalahan norma dan sopan santun dan estnorma dan sopan santun. Oleh lantaran itu, skor ilmu administrasi tidak hanya bersifat intrinsik sebagai seni, melainkan juga skor ekstrinsik sebagai ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap dampak yang negatif dan meningkatkan dampak yang positif dalam manajemen.

C. AKSIOLOGI DALAM MORAL CONDUCT MANAJEMEN
Moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni norma dan sopan santun. Kajian norma dan sopan santun ludang kecepeh konsentrasi pada prilaku, norma dan watak istiadat manusia. Tujuan dari norma dan sopan santun ialah supaya insan mengetahui dan bisa mempertanggungjawabankan apa yang ia lakukan. Didalam norma dan sopan santun, skor kebaikan dari tingkah laris insan menjadi sentral persoalan. Maksudnya ialah tingkah laris yang penuh dengan tanggung jawaban, baik tanggung balasan terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Selanjutnya, Suriasumantri menyampaikan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskannya kedalam 4 tahapan yaitu:
1. Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
2. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
3. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
4. Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan diatas sanggup dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, ketiruananya harus diubahsuaikan dengan skor-skor moral yang ada di masyarakat, sehingga skor kegunaan ilmu tersebut sanggup dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan mengakibatkan bala. Bagi seorang ilmuwan, skor dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Terkait dengan skor norma dan sopan santun atau moral, sesungguhnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap insan untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian insan memdiberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang diskornya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral mempunyai keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan bila seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau tidak mengindahkan skor – skor moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan insan bila dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara kasus norma dan sopan santun atau susila, mempelajari kaidah – kaidah yang membimbing tingkah laris insan sehingga baik. Karena secara umum moral diukur dari sikap insan sebagai pelakunya, sanggup timbul pula perbedaan penafsiran.

D. AKSIOLOGI DALAM ESTHETIC EXPRESSION MANAJEMEN
Pengertian Estnorma dan sopan santun
Estnorma dan sopan santun berasal dari dari kata Yunani Aesthesis yang berarti pengamatan. Semiawan (2005:159), menjelaskan estnorma dan sopan santun sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari wacana hakikat keindahan di dalam seni. Estnorma dan sopan santun merupakan cabang filsafat yang mengkaji wacana hakikat indah dan buruk. Estnorma dan sopan santun membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengalaman ilmiah supaya ia sanggup dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estnorma dan sopan santun juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengalaman ilmiah (Susanto 2011:119).
Estnorma dan sopan santun sanggup dibedakan menjadi estnorma dan sopan santun deskriptif dan estnorma dan sopan santun normatif. Estnorma dan sopan santun deskriptif menggambarkan tanda-tanda – tanda-tanda pengalaman keindahan, sedangkan estnorma dan sopan santun normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, ditanyakan apakah keindahan itu jadinya sesuatu yang adil (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata insan sendiri).
Perbedaan lain dari estnorma dan sopan santun ialah estetis filsafat dan estetis ilmiah. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya target yang dikemukakan. Estetis filsafati ialah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafat dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafat ada yang menyebut sebagai estetis analitis, lantaran tugasnya hanyalah mengurai. Sedangkan estetis ilmiah ialah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat (The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:101).
Pengertian Keindahan
Keindahan berdasarkan etimologi berasal dari kata Latin Bellum yang berarti kebaikan. Menurut cakupannya,keindahan sanggup dibedakan sebagai suatu kualitas abnormal (beauty) dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah (the beautiful).
Kalau estnorma dan sopan santun dirumuskan cabang filsafat yang bekerjasama dengan teori keindahan, maka definisi keindahan memdiberitahu orang untuk mengenali apa keindahaan itu, sedangkan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu. Persoalan pokok dari teori keindahan ialah mengenai sifat dasar keindahan dari apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda yang indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut?
Apa sesungguhnya keindahan itu? Keindahan intinya ialah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut ialah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast)( The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:103).
Pengertian lain dari keindahan menyerupai yang digambarkan oleh Herbert Read, Thomas Aquinas, dan Kaum Sofis di Athena. Herbert Read memdiberikan pengertian keindahan, yakni kesatuan beberapa kekerabatan bentuk yang diterima oleh indrawi. Thomas Aquinas menyatakan keindahan sama dengan suatu yang menyenangkan. Adapun Kaum Sofis di Athena memdiberikan citra keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Dalam estetis modern, orang ludang kecepeh banyak berbicara wacana seni dan pengalaman estetis lantaran ini tanda-tanda konkret yang sanggup ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis.
Beberapa teori mengenai keindahan ialah sebagai diberikut:
1. Teori Subjektif dan Objektif
a. Teori Objektif, beropini bahwa ciri – ciri yang membuat skor estetis ialah sifat (kualitas) yang telah menempel pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat – sifat indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak kuat untuk mengubahnya. Persoalannya ialah ciri – ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap berskor estetis. Salah satu jawabanannya ialah perimbangan antar potongan – potongan dalam benda yang dianggap indah tersebut.
b. Teori Subjektif, menyatakan bahwa ciri – ciri yang membuat keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tasumsi perasaan dalam diri seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata – mata tergantung pada pencerahan dari si pengamat tersebut. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai skor estetis, hal ini sanggup diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagi tasumsi terhadap benda itu.
c. Teori campuran, menyatakan keindahan terletak dalam suatu kekerabatan diantara suatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya, contohnya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, suatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerahan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga mengakibatkan rasa menyukai atau menikmati benda itu (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:104).
2. Teori Perimbangan
Teori perimbangan wacana keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut teori agung wacana keindahan (the great theory of beauty). Teori agung wacana keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari potongan – bagian, atau ludang kecepeh tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari potongan – potongan serta hubungannya satu sama lain. Contohnya, arsitektur Yunani, dimana keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran , jumlah dan susunan dari pilar – pilar yang menyangga atap tersebut. Pilar – pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam banyak sekali dimensinya (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:105 ).
3. Teori Bentuk Estetis
Menurut Mondroe Beardesley, menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat ‘membuat baik (indah)’ dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu yaitu:
a. Kesatuan (unity)
Berarti benda estetis itu tersusun secara baik atau tepat bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni mempunyai isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan – perbedaan yang halus.
c. Kesungguhan (intensity)
Benda estetis yang baik harus mempunyai kualitas tertentu yang menonjol bukan sekedar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi kasus apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau bangga , sifat lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensif atau sungguh – sungguh (The Liang gie, Surajiyo 2014:106).

Penerapan Konsep Estnorma dan sopan santun Dalam Manajemen
Dalam filsafat manajemen, terkandung dasar pandangan hidup yang mencerminkan keberadaan, keterangan diri dan implikasinya guna mewujudkan efisiensi dan akibattivitas dalam pekerjaan manajemen. Untuk merealisasikan tujuan diharapkan beberapa faktor penunjang sehingga merupakan kombinasi yang terpadu, baik menyangkut individu maupun kepentingan umum. Hal ini dimaksudkan adanya keseimbangan diantara faktor – faktor yang diharapkan dalam mencapai suatu kekuatan untuk mengejar suatu hasil yang maksimum.
Mary Parker Follet mengemukakan bahwa administrasi merupakan suatu bentuk seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan lewat orang lain. Definisi dari Mary Parker Follet ini mengandung perhatian pada sebuah kenyataan bahwa para manajer sanggup mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain supaya sanggup melaksanakan apa saja yang diharapkan dalam suatu pekerjaan, tidak dengan cara melaksanakan pekerjaan tersebut seorang diri. Kaprikornus estnorma dan sopan santun atau seni diterapkan dalam proses penerapan fungsi – fungsi administrasi dalam perusahaan (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling). Terutama di Bali sebagai kawasan pariwisata yang dikenal, tentunya aspek estnorma dan sopan santun menjadi sangat penting. Contohnya pengerjaan sebuah proyek perusahaan.


Penerapan fungsi – fungsi administrasi tersebut antara lain:
a. Diawali dengan tahap Planning (perencanaan), knorma dan sopan santun para arsitek merencanakan membuat bangunan perkantoran bertingkat niscaya dikaitkan dengan aspek – aspek peruntukannya apa, bagaimana situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak lingkungan. Yang niscaya estnorma dan sopan santun suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada taktik bisnis perusahaan dan pertidak seimbangan lingkungan.
b. Tahap Organizing (mengorganisasi), pada tahap ini ada komunikasi antara pemimpin dan manajer dengan para sub-ordinasinya. Knorma dan sopan santun terjadi interaksi maka selayaknya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya dengan cara –cara yang manusiawi. Misalnya pemimpin menyapa karyawan dengan akrab, sehingga akan tercipta suasana kerja yang serasi dan indah. Pemimpin juga mau mendengar dan merespon positif pendapat sub-ordinasinya.
c. Tahap Actuating (pengaplikasian), knorma dan sopan santun perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetitif maka salah satu unsur yang ingin dicapai ialah pengembangan loyalitas konsumen. Untuk itu perusahaan harus bisa memdiberikan produk yang bermutu dan layanan yang terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan skor kemudian dibangun suatu jembatan sentimental antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya ialah tanggung balasan mutu dengan dengan estnorma dan sopan santun tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu dan konsumen diperlakukan dengan cara kondusif dan nyaman secara berkelanjutan. Pada gilirannya konsumen akan loyal untuk kembali membeli produk perusahaan tersebut.
d. Tahap Controlling (pengawasan), dimana pengawasan merupakan tindakan seorang manajer untuk meskor dan mengendalikan jalannya suatu acara demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pengawasan ialah memperbaiki kesalahan, penyimpangan, penyelewengan dan acara lainnya yang tidak sesuai dengan rencana. Misalnya apabila ada bawahan yang melaksanakan kesalahan, pimpinan menegur dengan cara yang baik, tidak sentimental dan manusiawi. Sehingga bawahan tidak merasa ketakutan atau tertekan dan selanjutnya sanggup memperbaiki kesalahannya.
E. AKSIOLOGI DALAM SOCIO POLITICAL LIFE
Sosial, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu ilmu yang berkenaan dengan masyarakat atau mengenai masyarakat. Sedangkan politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan menyerupai sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan. Dalam politik selalu menyangkut tujuan – tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan seorang pribadi. Karena itu aspek aksiologis dalam kehidupan sosial politik ialah kaidah – kaidah skor yang harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu sosial dan politik ke dalam praktis. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi selangkah, pertukaran informasi antar insan selalu merupakan permainan wacana toleransi (Susanto, 2016: 118). Ini berlaku dalam ilmu eksakta maupun bahasa, ilmu sosial, religi, ataupun politik, bahkan juga setiap bentuk pikiran yang akan menjadi dogma.
Jujun Suriasumantri dalam Syamsir Torang (2014) menyebutkan bahwa ilmu harus digunakan, dimanfaatkan dan diterapkan untuk kemaslahatan manusia. Ilmu juga sanggup dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup insan dengan mempertidak seimbangkan kodrat dan martabat insan serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan insan tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun, diharapkan sanggup digunakan atau diterapkan secara komunal dan universal. Komunal berarti milik bersama dan universal berarti tidak mempunyai konotasi panokial menyerupai ras, ideologi, atau agama.

Prinsip Politik sebagai Prinsip Penerapan Ilmu
Otoritas dan obyektifitas ilmiah tak sanggup dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan asas, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas niscaya akan roboh, dan sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan musnah. Dengan demikian, otoritas politik merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu. (Syamsir Torang, 2014: 109). Contoh aksiologis dalam Socio Political Life antara lain:
1. Sikap dan Tanggung Jawab Ilmuwan (Latiff Mukhtar, 2014)
Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang apabila memenuhi syarat – syarat keilmuan akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka ilmuwan mempunyai tanggung balasan yang besar bukan hanya lantaran ia warga masyarakat, melainkan lantaran bertanggung balasan atas hasil penelitiannya supaya disalahgunakan masyarakat.Selain itu pula masyarakat seringkali mendapat banyak sekali kasus yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang dengan analisisnya diharapkan bisa mendapat pemecahan atas permasalahan tesebut. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk memberikan kepada masyarakat, memdiberikan perspektif yang benar, untung – rugi, baik dan buruknya sehingga penyelesaian yang obyektif sanggup dimungkinkan. Keludang kecepehan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat mengakibatkan mereka mempunyai tanggung balasan sosial.
Tugas seorang ilmuwan harus sanggup menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Mereka tidak akan membiarkan hasil penelitian maupun temuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun digunakan olah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan telah bangun dan bersikap terhadap politik dan pemerintah yang berkuasa yang berdasarkan mereka telah melanggar asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan yang sanggup disalahgunakan sehingga ilmuwan berperan penting dalam menjaga kegunaannya dalam lingkungan sosial dan politik.Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, entah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi dan sebagainya mesti memperhatikan skor – skor kemanusiaan, skor agama, skor adat, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Peran aksejukisi dalam menanggapi isu lingkungan maupun sosial budaya di masyarakat
Senat Universitas Udayana menetapkan bahwa planning Reklamasi Teluk Benoa tidak layak untuk diteruskan. Hal tersebut sesudah dilakukan pengkajian kembali oleh tim review unud sesudah melihat hasil kajian para peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM Unud). Menurut Prof. Suastika selaku Rektor Unud, proyek diputuskan tidak layak sesudah dikaji dari aspek lingkungan, teknis, sosial budaya, dan ekonomi finansial. (www.antarabali.com). Begitu juga tindakan Institut Teknologi Sepuluh November yang menolak penawaran penyelenggara proyek untuk melaksanakan kajian atas proyek tersebut.
2. Seorang Teknokrat
Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang mempunyai kemampuan teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus terlibatdalam acara berkuasa dan memerintah. Beberapa tokoh yang dipandang sebagai teknokrat Indonesia antara lain: Boediono, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Anies Baswedan (www.jpnn.com).Terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat yakni:
i) Selaku teoritisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan ialah membentuk aturan umum dari insiden empiris atau objek yang menyebarkan pengetahuan dimana sanggup menjelaskan apa hakikat insiden yang diamatinya dan membuat prediksi untuk masa depan.
ii) Selaku praktisi, teknokrat memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin acara berpikir dan bertindak menganalisis fakta dengan tujuan memberikan solusi sejauh yang diperlukan.
3. Pancasila sebagai dasar berpolitik
Terdapat banyak sekali macam pandangan politik dalam kehidupan bermasyarakat. Politik fiskal, politik internasional, politik nasional, politik lokal dan lain-lain. Seluruhnya merupakan pengetahuan wacana ketatanegaraan maupun urusan pemerintahan yang berkaitan dengan banyak orang pada tiap bidang tersebut. Karenanya penting untuk memahami skor yang dijadikan pedoman dalam berperilaku politik.
Politik berperan strategis menghasilkan produk – produk aturan yang menyangkut masyarakat banyak. Erika dan Dewa (2014) menyatakan bahwa pembangunan aksara produk aturan yang sarat akan skor – skor kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila merupakan salah satu karakteristik yang sanggup ditonjolkan sebagai keterangan diri langsung yang mandiri, dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta, menghargai skor – skor kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dengan asas musyawarah mufakat, serta skor keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kaprikornus mekanisme aturan harus meliputi pembangunan aturan dalam wujud pembaharuan peraturan perundang - undangan, pelatihan aparatur Negara, dan masyarakat serta aturan secara struktural, budaya, dan substansi maupun jaminan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM bagi setiap warga Negara yang dituangkan dalam bentuk konstitusi.

F. AKSIOLOGI MANAJEMEN TENTANG PERTIMBANGAN NILAI DAN MENJADI AKSI TERHADAP FUNGSI MANAJEMEN
Menurut Susanto (2011) dalam buku Filsafat Ilmu, Latif M (2014:231) menyampaikan ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectivism, yaitu peskoran terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang diskor. Kedua, subjectivism, yaitu peskoran terhadap sesuatu di mana dalam proses peskoran terhadap unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan norma dan sopan santun yaitu teori skor intuitif, teori skor rasional, teori skor ilmiah, dan teori skor emotif. Dimana teori skor intuitif dan tori skor rasional beraliran pendekatan objectivitas, sedangkan teori skor alamiah dan teori skor emotif beraliran pendekatan subjektivitas(Latif M, 2014: 231).
a. Teori Nilai Intuitif (The Intuitif Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar bila tidak bisa dikatakan tidak mungkin untuk mendefinisikan suatu perangkat skor yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat skor yang adikara itu eksis dalam tatanan yang bersifat adil. Nilai ditemukan melalui intuisi lantaran ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa skor yang eksis sebagai piranti objek atau menyatu dalam kekerabatan antar objek, dan validitas dari skor tidak bergantung pada eksistensi sikap manusia. Setelah seseorang menemukan dan mengakui skor intuitif melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur sikap individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
b. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada skor yang bersifat adil dan murni independen dari manusia, dimana skor ini ditemukan dari hasil penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melaksanakan sesuatu yang benar knorma dan sopan santun ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melaksanakan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan logika atau kiprah Tuhan skor adil adikara yang seharusnya mengarahkan perilaku.
c. Teori Nilai Alamiah (The Naturakistic Theory of Value)
Menurut teori ini, skor diciptakan insan bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya . Nilai yaitu produk biososial, artefak insan yang diciptakan, dipakai, diuji, oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing sikap manusia.Pendekatan naturalis meliputi teori skor instrumental di mana keputusan skor tidak adikara tetapi bersidat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
d. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga anutan sebelumnya memilih konsep skor dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan norma dan sopan santun bukanlah keputusan faktual melainkan hanya merupakan verbal emosi dan tingkah laku. Nilai tidak ludang kecepeh dari suatu opini yang tidak bisa dipembuktian, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi potongan penting dari tindakan manusia.
Dalam Encyclopediaof Phylosophy dijelaskan, aksiologi disamakan denganValue and Valuation. Ada tiga bentuk value and valuation (Amsal B, 2004:164).
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang ludang kecepeh sempit seperti, baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang ludang kecepeh luas mencakupi sebagai suplemen segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan skor yang ludang kecepeh luas, meliputi seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan berbeda dengan fakta. Teori skor atau aksiologi ialah potongan dari norma dan sopan santun. Lewis menyebutkan skor sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai skor instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai skor inheren atau kebaikan menyerupai estetis dari sebuah karya seni, sebagai skor intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, ataupun sebagai skor contributor atau skor yang merupakan pengalaman yang memdiberikan kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya knorma dan sopan santun kita berkata skor – skor, ia seringkali digunakan untuk merujuk kepada sesuatu yang berskor. Kemudian digunakan untuk sesuatu yang mempunyai skor sebagai mana berlawanan dengan sesuatu yang tidak dianggap baik.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam verbal meskor, memdiberi skor, dan diskor. Meskor umumnya sinonim dengan evaluasi knorma dan sopan santun hal tersebut secara aktif digunakan untuk meskor perbuatan. Dewey membedakan hal wacana meskor, ia berarti menghargai dan mengpenilaian.
Menurut Budidarjo (2011) dalam Syamsir Torang (2014:112) skor – skor organisasi sebaiknya dipengenalankan dan dibudayakan supaya mudah diterima oleh para anggotanya. Organisasi yang berkelas, harus mempunyai tujuh skor yaitu integrity,professionalism,customer orientation, innovation, learning, team work, dan service excellent. Budidarjo dalam Syamsir Torang (2014:111-114) menyebutkan terdapat delapan konsentrasi skor budaya organisasi antara lain:
1. Pelanggan
Organisasi berorientasi pada skor – skor cutomer satisfaction, customer oriented, customer focus, cutomer value, dan empaty for clients.
2. Pelayanan dan Kualitas
Pelayanan yang didiberikan organisasi berorientasi pada skor – skor: service orientedservice awareness, service excellent dan quality.
3. Orientasi Kelompok
Kelompok dalam organisasi tidak bisa diabaikan, oleh alasannya itu organisasi harus berorientasi pada skor – skor kelompok: team work, people oriented, respect for other, cooperation dan collaboration.
4. Orientasi insan
Organisasi juga harus memperhatikan sumber daya insan yang dimiliki dengan berorientasi pada skor – skor: commitment for human development, caring, employee development, humanism, empowerment dan people development.
5. Inovatif
Nilai – skor inovatif yang harus dimiliki oleh organisasi yaitu: continuous improvement, creativity, continuous pursuit of excellent, knowledge based, technobasic integrity, champion spirit dan competitive.
6. Strategik
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh taktik yang digunakan dalam mencapai tujuannya. Nilai – skor strategic yang harus dimiliki organisasi yaitu: strategic alliance, good leadership, continuous learning, networking, professionalism,performance oriented, professional excellent, winning together, visionary dan world class.
7. Prestasi
Prestasi merupakan asa organisasi, oleh alasannya itu skor prestasi yang harus dimiliki organisasi yaitu: achieving, adaptenes, agility, caring, competent people, confident, dedication, discipline, hardworking, reliable, initiative, openness, perseverance, responsible, strive for excellent dan synergy.
8. Moral atau Etika
Nilai – skor moral atau norma dan sopan santun merupakan skor yang sangat signifikan yang harus dimiliki organisasi, antara lain: etical, good attitude, fairness, honesty, humanism, peace of main, social responsibility, trust dan equality.
Dalam fungsi – fungsi administrasi yaitu planning, organizing, actuating dan controlling, seluruh bentuk skor sangat mempunyai kegunaan untuk setiap keputusan yang akan dibentuk dalam rangka meningkatkan akibattifitas dan efisiensi suatu organisasi dalam pencapaian tujuannya. Dalam kaitannya dengan manajemen, bagamaimana seorang manajer merencanakan suatu acara kemudian pengorganisasian planning – planning tersebut, mengimplementasikan planning dan yang terakhir melaksanakan pengawasan sehingga serangkaian fungsi administrasi tersebut sanggup memdiberi skor pada perusahaan.



Advertisement

Iklan Sidebar